Kamis, 03 Februari 2011

Antara Sunnah, Bidah Dan Taklid


Antara Sunnah, Bidah Dan Taklid
Oleh: Iwan Sutedi

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
Ikhwan fillah rahimakumullah.
          Merupakan suatu kewajiban bagi kita untuk menuntut ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah agar  kita dapat meghindari dan menolak syubhat di dalam memahami dien Islam ini. Telah kita sepakati bersama bahwa hanya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah kita dapat selamat dan tidak akan tersesat.
          Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا، كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
          “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan sesat selama-lamanya yaitu: Kitabullah dan sunnah NabiNya”. (Hadist Riwayat Malik secara mursal (Al-Muwatha, juz 2, hal. 999).
          Syaikh Al-Albani mengatakan dalam bukunya At-Tawashshul anwa’uhu wa ahkamuhu, Imam Malik meriwayatkan secara mursal, dan Al-Hakim dari Hadits Ibnu Abbas dan sanadnya hasan, juga hadist ini mempunyai syahid dari hadits jabir telah saya takhrij dalam Silsilah Ahadits As-Shahihah no. 1761).
          Adakah pilihan lain agar kita termasuk dalam orang-orang yang selamat dan agar umat Islam ini memperoleh kejayaan lagi selain mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Salafus Shalih? tentu tidak ada, karena sebenar-benar ucapan adalah Kalamullah, sebaik-baik petunjuk adalah sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan sebaik-baik generasi adalah generasi sahabat yang telah Allah puji dan Allah ridhai.
          Suatu kebahagiaan kiranya jikalau kita termasuk dalam golongan yang selamat, golongan Tha’ifah Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan) dari Allah.
Ikhwan fillah rahimakumullah
          Kebanyakan ummat Islam, kini terjebak dalam taklid buta. Terkadang suatu anjuran untuk mengikuti dan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah serta memalingkan jiwa dari selain keduanya dianggap sebagai seruan yang mengajak kepada pelecehan pendapat para ulama dan menghalangi untuk mengikuti jejak para ulama atau mengajak untuk menyerang perkataan mereka. Padahal tidak demikian yang dimaksudkan, bahkan harus dibedakan antara mengikuti Nabi semata dengan pelecehan terhadap pendapat para ulama. Kita tidak boleh mengutamakan pendapat seseorang di atas apa yang telah dibawa oleh beliau dan tidak juga pemikirannya, siapapun orang tersebut. Apabila seseorang datang kepada kita membawakan suatu hadits, maka hal pertama yang harus kita perhatikan adalah keshahihan hadits tersebut kemudian yang kedua adalah maknanya. Jika sudah shahih dan jelas maknanya maka tidak boleh berpaling dari hadits tersebut walaupun orang disekeliling kita menyalahi kita, selama penerapannya juga benar.
          Para Imam ulama salaf yang dijadikan panutan umat, mencegah para pengikutnya mengikuti pendapat mereka tanpa mengetahui dalilnya. Di antara ucapan Abu Hanifah: “Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami sebelum dia mengetahui dari mana kami mengambilnya.” Kemudian:
          “Bila saya telah berkata dengan satu pendapat yang telah menyalahi kitab Allah ta’ala dan sunah Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam , maka tinggalkanlah pendapatku.”
          Sedangkan mayoritas ummat Islam sekarang ini mereka berkata, “Ustadz saya berkata.”
          Padahal sudah datang kepada mereka firman Allah dalam surat Allah Hujarat ayat 1: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya.”
          Ibnu Abbas berkata. “Hampir-hampir saja diturunkan atas kalian batu dari langit. Aku mengataklan kepada kalian,” Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, tetapi kalian mengatakan, Abu Bakar berkata, Umar berkata.”
          Firman Allah dalam surat 7 ayat 3:
          “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padaNya).”
          Kemudian salah satu penyakit umat Islam sekarang ini disamping taklid buta adalah banyaknya para pelaku bid’ah. Dan di antara sebab-sebab yang membawa terjadinya bid’ah adalah:
1. Bodoh tentang hukum agama dan sumber-sumbernya
          Adapun sumber-sumber hukum Islam adalah Kitabullah, sunnah RasulNya dan ijma’ dan Qiyas. Setiap kali  zaman berjalan dan manusia bertambah jauh dari ilmu yang haq, maka semakin sedikit ilmu dan tersebarlah kebodohan. Maka tidak ada yang mampu untuk menentang dan melawan bi’dah kecuali ilmu dan ulama. Apabila ilmu dan ulama telah tiada dengan wafatnya mereka, bi’dah akan mendapatkan kesempatan dan berpeluang besar untuk muncul dan berjaya dan tokoh-tokoh bid’ah bertebaran menyeret umat ke jalan sesat.
2. Mengikuti hawa nafsu dalam masalah hukum
          Yaitu menjadikan hawa nafsu sebagai sumber segalanya dengan menyeret/membawa dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mendukungnya, dalil-dalil tersebut dihukumi dengan hawa nafsunya. Ini adalah perusakan terhadap syari’at dan tujuannya.
          “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah-nya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiar-kan sesat) ...” (Al-Jatsiyah: 23).
3. Fanatik buta terhadap pemikiran-pemikiran orang tertentu
          Fanatik buta terhadap pemikiran orang-orang tertentu akan memisahkan antara seorang muslim dari dalil dan al-haq. Inilah keadaan orang-orang yang fanatik buta pada zaman kita sekarang ini, Mayoritas terdiri dari pengikut sebagian madzhab-madzab, sufiyyah dan quburiyyun (penyembah-penyembah kuburan), yang apabila mereka diseru untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah, mereka menolaknya. Dan mereka juga menolak apa-apa yang menyelisihi pendapat mereka. Mereka berhujah dengan madzab-madzab, syaikh-syaikh, kiyai-kiyai, bapak-bapak nenek moyang mereka. Ini adalah pintu dari sekian banyak pintu-pintu masuknya bid’ah ke dalam agama Islam ini.
4. Ghuluw (berlebih-lebihan)
          Contoh dari point ini adalah madzab khawarij dan syi’ah. Adapun khawarij, mereka ghuluw berlebihan dalam memahami ayat-ayat peringatan dan ancaman. Mereka berpaling dari ayat-ayat raja’ (pengharapan), janji pengampunan dan taubat sebagaimana Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ...” (An-Nisa’:  48,116).
5. Tasyabuh dengan kaum kuffar
          Tasyabbuh (menyerupai) kaum kuffar adalah sebab yang paling menonjol terjatuhnya seorang kedalam bid’ah. Hal ini pulalah yang terjadi di zaman kita sekarang ini. Karena mayoritas dari kalangan kaum Muslimin taqlid kepada kaum kuffar pada amal-amal bid’ah dan syirik. Seperti perayaan-perayaan ulang tahun (maulid) dan mengadakan hari-hari atau minggu-minggu khusus dan perayaan serta peringatan bersejarah (menurut anggapan mereka) seperti: peringatan Maulid Nabi. Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan yang lainnya adalah  meyerupai peringatan-peringatan kaum kuffar.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
          Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka”. (Abu Dawud).
6. Menolak bid’ah dengan bid’ah yang semisalnya atau bahkan yang lebih rusak
          Contohnya ialah kaum Murji’ah, Mu’tazilah, Musyabibhah dan Jahmiyyah. Kaum Murji’ah memulai bid’ahnya dalam mensikapi orang-orang yang dizamannya, mereka berkata: “Kita tidak menghakimi mereka dan kita kembalikan urusannya kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala ”. Hingga akhirnya mereka sampai pada pendapat bahwa maksiat tidak me-mudharat-kan iman, sebagaimana tidak berfaedah ketaatan yang disertai kekufuran. Al-Baghdadi berkata: “Mereka dinamakan Murji’ah karena mereka memisahkan amal dari keimanan.”
          Demikianlah, para ahlul bid’ah menjadikan kebid’ahan-kebid’ahan yang mereka lakukan sebagai satu amalan ataupun suatu sunnah, sedangkan yang benar-benar sunnah mereka jauhi. Padahal sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
          “Barangsiapa mengajarkan suatu amalan yang tidak ada keterangannya dari kami (Rasulullah), maka dia itu tertolak.” (Hadist riwayat Muslim).
Ihwan fillah rahimakumullah
          Oleh karena itu jika kita mempelajari seluk beluk taqlid, kemudian kita pelajari hakekat kebid’ahan niscaya kita tahu bahwa ternyata antara bid’ah dan taqlid mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Jika kita perhatikan perbuatan bid’ah niscaya kita akan mengetahui bahwa pelakunya adalah seorang muqallid. Dan kalau kita melihat seorang muqallid, niscaya kita lihat bahwa dia tenggelam dalam kebid’ahan, kecuali bagi mereka yang dirahmati oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Berikut ini ada beberapa sebab yang menunjukkan bahwa taqlid itu mempunyai hubungan yang erat  dengan bid’ah.
          Muqallid tidak bersandar dengan dalil dan tidak mau melihat dalil; jika dia bersandar pada dalil, maka dia tidak lagi dinamakan muqallid. Demikian pula mubtadi’, diapun dalam melakukan kebid’ahan tidak berpegang dengan dalil karena kalau berpegang dengan dalil maka ia tidak lagi dinamakan dengan mubtadi’ karena asal bid’ah adalah mengadakan sesuatu hal yang baru tanpa dalil atau nash.
          Taqlid dan bid’ah adalah tempat ketergelinciran yang sangat berbahaya yang menyimpangkan seseorang dari agama dan aqidah. Karena dua hal tersebut akan menjauhkan pelakunya dari nash  Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber kebenaran.
          Taqlid dan bid’ah merupakan sebab utama tersesatnya umat terdahulu. Allah Subhannahu wa Ta'ala menceritakan dalam Al-Qur’an tentang Bani Isra’il yang meminta Musa Alaihissalam untuk menjadikan bagi mereka satu ilah dari berhala, karena taqlid kepada para penyembah berhala yang pernah mereka lewati.
          FirmanNya:
 “Dan kami seberangkan Bani Israil keseberang lautan itu, maka setelah mereka sampai pada satu kaum yang telah menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)!. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)! “sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al- A’raf: 138-139).
          Sekalipun Nabi Musa Alaihissalam melarang dan mencerca mereka dan mereka mengetahui bahwa arca itu hanyalah bebatuan yang tidak memberi manfaat dan mudlarat, tetapi mereka tetap membikin patung anak sapi dan menyembahnya.
          Hal ini disebabkan karena taqlid yang sudah menimpa diri mereka. Ayat ini sangat jelas menunjukkan bahaya taqlid dan hubungannya yang sangat erat dengan kebid’ahan bahkan dengan kesyirikan dan kekufuran. Hal inilah yang merupakan sebab kesesatan Bani Isra’il dan umat lainnya, termasuk sebagian besar ummat Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam .
Terakhir adalah bagaimana cara kita untuk keluar dari bid’ah ini
          Jalan keluar dari bid’ah ini telah di gariskan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dalam banyak hadits. Dan satu di antaranya adalah berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Salafus Shahih, , karena mereka adalah orang yang paling besar cintanya kepada Allah dan RasulNya, paling kuat ittiba’nya, paling dalam ilmunya, dan paling luas pemahamannya terhadap dua wahyu yang mulia tersebut. Dengan cara ini seorang muslim mampu berpegang teguh dengan agamanya dan bebas dari kotoran yang mencemari dan terhindar dari semua kebid’ahan yang menyesatkan.
          Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan taufiq dan hidayahNya kepada kita semua dan kepada saudara-saudara kita yang terjerumus dan bergelimang di dalam kebid’ahan. Mudah-mudahan pula Allah menambah ilmu kita, menganugrahkan kekuatan iman dan takwa untuk bisa tetap istiqomah di atas manhaj yang hak dan menjalani sisa hidup di jaman yang penuh fitnah ini dengan bimbingan syari’at Muhammadiyah (syariat yang dibawa oleh Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam ), sampai kita bertemu Allah dengan membawa bekal husnul khatimah.
Amin ya Rabbal Alamin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ.
Khutbah Kedua
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا} وَقَالَ: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا}. ثُمَّ اعْلَمُوْا فَإِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَى رَسُوْلِهِ فَقَالَ: {إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا}.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. وَأَقِمِ الصَّلاَةَ.


Anak sholeh aset orang tua


Anak Shalih Adalah Aset Orang Tua
Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ، وَنَعُوذُ بِاللهِ تَعَالَى مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللهُ لَهُ نُوْرًا فَمَا لَهُ مِنْ نُوْرٍ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَةً ضِعَافًا. (النساء: 9).
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ. وَأَحْيِنَا اَللَّهُمَّ عَلَى سُنَّتِهِ وَأَمِتْنَا عَلَى مِلَّتِهِ. وَبَعْدُ؛
Jamaah rahimakumullah, Anak adalah buah hati bagi kedua orang tuanya yang sangat disayangi dan dicintainya. Sewaktu bahtera rumah tangga pertama kali diarungi, maka pikiran pertama yang terlintas dalam benak suami istri adalah berapa jumlah anaknya kelak akan mereka miliki serta kearah mana anak tersebut akan dibawa. Menurut Sunnah melahirkan anak yang banyak justru yang terbaik. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَلُوْدَ وَالْوَدُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمْ.
Artinya: “Nikahilah wanita yang penuh dengan kasih sayang dan karena sesungguhnya aku bangga pada kalian dihari kiamat karena jumlah kalian yang banyak.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’I, kata Al Haitsamin).
Namun yang menjadi masalah adalah kemana anak akan kita arahkan setelah mereka terlahir. Umumnya orang tua menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi anak yang shalih, agar setelah dewasa mereka dapat membalas jasa kedua orang tuanya. Namun obsesi orang tua kadang tidak sejalan dengan usaha yang dilakukannya. Padahal usaha merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi terbentuknya watak dan karakter anak. Obsesi tanpa usaha adalah hayalan semu yang tak akan mungkin dapat menjadi kenyataan.
Bahkan sebagian orang tua akibat pandangan yang keliru menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi bintang film (Artis), bintang iklan, fotomodel dan lain-lain. Mereka beranggapan dengan itu semua kelak anak-anak mereka dapat hidup makmur seperti kaum selebritis yang terkenal itu. Padahal dibalik itu semua mereka kering akan informasi tentang perihal kehidupan kaum selebritis yang mereka puja-puja. Hal ini terjadi akibat orang tua yang sering mengkonsumsi berbagai macam acara-acara hiburan diberbagai media cetak dan elektronik, karena itu opininya terbangun atas apa yang mereka lihat selama ini.

Jamaah jum’at rahimakumullah
Kehidupan sebagian besar selebritis yang banyak dipuja orang itu tidak lebih seperti kehidupan binatang yang tak tahu tujuan hidupnya selain hanya makan dan mengumbar nafsu birahinya. Hura-hura, pergaulan bebas, miras, narkoba dan gaya hidup yang serba glamour adalah konsumsi sehari-hari mereka. Sangat jarang kita saksikan di antara mereka ada yang perduli dengan tujuan hakiki mereka diciptakan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala , kalaupun ada mereka hanya menjadikan ritualisme sebagai alat untuk meraih tujuan duniawi, untuk mengecoh masyarakat tentang keadaan mereka yang sebenarnya. Apakah kita menginginkan anak-anak kita menjadi orang yang jauh dari agamanya yang kelihatannya bahagia di dunia namun menderita di akhirat? Tentu tidak. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)mereka” (An Nisa: 9).
Pengertian lemah dalam ayat ini adalah lemah iman, lemah fisik, lemah intelektual dan lemah ekonomi. Oleh karena itu selaku orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, maka mereka harus memperhatikan keempat hal ini. Pengabaian salah satu dari empat hal ini adalah ketimpangan yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan pada anak.
Imam Ibnu Katsir dalam mengomentari pengertian lemah pada ayat ini memfokuskan pada masalah ekonomi. Beliau mengatakan selaku orang tua hendaknya tidak meninggalkan keadaan anak-anak mereka dalam keadaan miskin . (Tafsir Ibnu Katsir: I, hal 432) Dan terbukti berapa banyak kaum muslimin yang rela meninggalkan aqidahnya (murtad) di era ini akibat keadaan ekonomi mereka yang dibawah garis kemiskinan.
Banyak orang tua yang mementingkan perkembangan anak dari segi intelektual, fisik dan ekonomi semata dan mengabaikan perkembangan iman. Orang tua terkadang berani melakukan hal apapun yang penting kebutuhan pendidikan anak-anaknya dapat terpenuhi, sementara untuk memasukkan anak-anak mereka pada TK-TP Al-Qur’an terasa begitu enggan. Padahal aspek iman merupakan kebutuhan pokok yang bersifat mendasar bagi anak. Ada juga orang tua yang menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan bagi anak-anak mereka dari keempat masalah pokok di atas, namun usaha yang dilakukannya kearah tersebut sangat diskriminatif dan tidak seimbang. Sebagai contoh: Ada orang tua yang dalam usaha mencerdaskan anaknya dari segi intelektual telah melaksanakan usahanya yang cukup maksimal, segala sarana dan prasarana kearah tercapainya tujuan tersebut dipenuhinya dengan sungguh-sungguh namun dalam usahanya memenuhi kebutuhan anak dari hal keimanan, orang tua terlihat setengah hati, padahal mereka telah memperhatikan anaknya secara bersungguh-sungguh dalam segi pemenuhan otaknya.

Jamaah jum’at rahimakumullah.
Karena itu sebagian orang tua yang bijaksana, mesti mampu memperhatikan langkah-langkah yang harus di tempuh dalam merealisasikan obsesinya dalam melahirkan anak yang shalih. Di bawah ini akan kami ketengahkan beberapa langkah yang cukup representatif dan membantu mewujudkan obsesi tersebut:
1.       Opini atau persepsi orang tua atau anak yang shalih tersebut harus benar-benar sesuai dengan kehendak Islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , bersabda:
إِذَا مَاتَ بْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ.
Artinya: “Jika wafat anak cucu Adam, maka terputuslah amalan-amalannya kecuali tiga: Sadaqah jariah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang selalu mendoakannya.” (HR.Muslim)
Dalam hadits ini sangat jelas disebutkan ciri anak yang shalih adalah anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Sementara kita telah sama mengetahui bahwa anak yang senang mendoakan orang tuanya adalah anak sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan,melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala , dan menjauhi larangan-laranganNya. Anak yang shalih adalah anak yang tumbuh dalam naungan DienNya, maka mustahil ada anak dapat bisa mendoakan orang tuanya jika anak tersebut jauh dari perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan senang bermaksiat kepadaNya. Anak yang senang bermaksiat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , jelas akan jauh dari perintah Allah dan kemungkinan besar senang pula bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus.
Dalam hadits ini dijelaskan tentang keuntungan memiliki anak yang shalih yaitu, amalan-amalan mereka senantiasa berkorelasi dengan kedua orang tuanya walaupun sang orang tua telah wafat. Jika sang anak melakukan kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka amal dari kebaikannya juga merupakan amal orang tuanya dan doanya akan segera terkabul oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala .Jadi jelaslah bagi kita akan gambaran anak yang shalih yaitu anak yang taat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , menjauhi larangan-laranganNya, selalu mendoakan orang tuanya dan selalu melaksanakan kebaikan-kebaikan.
2.       Menciptakan lingkungan yang kondusif ke arah tercipta-nya anak yang shalih.
Lingkungan merupakan tempat di mana manusia melaksana-kan aktifitas-aktifitasnya. Secara mikro lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
a. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan sebuah institusi kecil dimana anak mengawali masa-masa pertumbuhannya. Keluarga juga merupakan madrasah bagi sang anak. Pendidikan yang didapatkan merupakan pondasi baginya dalam pembangunan watak, kepribadian dan karakternya.

Jama'ah jum’at rahimakumullah
Jika anak dalam keluarga senantiasa terdidik dalam warna keIslaman, maka kepribadiannya akan terbentuk dengan warna keIslaman tersebut. Namun sebaliknya jika anak tumbuh dalam suasana yang jauh dari nilai-nilai keIslaman, maka jelas kelak dia akan tumbuh menjadi anak yang tidak bermoral. Seorang anak yang terlahir dalam keadaan fitrah, kemudian orang tuanyalah yang mewarnainya, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخاري).
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang fitrah (Islam), maka orang tuanya yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari)
Untuk itu orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat awal dimana anak kita mengalami pertumbuhannya dengan cara menanamkan dalam jiwa anak kita kecintaan terhadap diennya, cinta terhadap ajaran Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya Shallallaahu alaihi wa Salam, sehingga ketika anak tersebut berhadapan dengan lingkungan lain anak tersebut memiliki daya resistensi yang dapat menangkal setiap saat pengaruh negatif yang akan merusak dirinya. Agar dapat memudahkan jalan bagi pembentukan kepribadian bagi anak yang shalih, maka keteladanan orang tua merupakan faktor yang sangat menentukan. Oleh karena itu, selaku orang tua yang bijaksana dalam berinteraksi dengan anak pasti memperlihatkan sikap yang baik, yaitu sikap yang sesuai dengan kepribadian yang shalih sehingga anak dapat dengan mudah meniru dan mempraktekkan sifat-sifat orang tuanya
b. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan di mana anak-anak berkumpul bersama teman-temannya yang sebaya dengannya. Belajar, bermain dan bercanda adalah kegiatan rutin mereka di sekolah. Sekolah juga merupakan sarana yang cukup efektif dalam membentuk watak dan karakter anak. Di sekolah anak-anak akan saling mempengaruhi sesuai dengan watak dan karakter yang diperolehnya dalam keluarga mereka masing-masing. Anak yang terdidik secara baik di rumah tentu akan memberi pengaruh yang positif terhadap teman-temanya. Sebaliknya anak yang di rumahnya kurang mendapat pendidikan yang baik tentu akan memberi pengaruh yang negatif menurut karakter dan watak sang anak. Faktor yang juga cukup menentukan dalam membentuk watak dan karakter anak di sekolah adalah konsep yang diterapkan sekolah tersebut dalam mendidik dan mengarahkan setiap anak didik. Sekolah yang ditata dengan managemen yang baik tentu akan lebih mampu memberikan hasil yang memuaskan dibandingkan dengan sekolah yang tidak memperhatikan sistem managemen. Sekolah yang sekedar dibangun untuk kepentingan bisnis semata pasti tidak akan mampu menghasilkan murid-murid yang berkwalitas secara maksimal, kualitas dalam pengertian intelektual dan moral keagamaan. Kualitas intelektual dan moral keagamaan tenaga pengajar serta kurikulum yang dipakai di sekolah termasuk faktor yang sangat menentukan dalam melahirkan murid yang berkualitas secara intelektual dan moral keagamaan. Oleh sebab itu orang tua seharusnya mampu melihat secara cermat dan jeli sekolah yang pantas bagi anak-anak mereka. Orang tua tidak harus memasukkan anak mereka di sekolah-sekolah favorit semata dalam hal intelektual dan mengabaikan faktor perkembangan akhlaq bagi sang anak, karena sekolah tersebut akan memberi warna baru bagi setiap anak didiknya. Keseimbangan pelajaran yang diperoleh murid di sekolah akan lebih mampu menyeimbangkan keadaan mental dan intelektualnya. Karena itu sekolah yang memiliki keseimbangan kurikulum antara pelajaran umum dan agama akan lebih mampu memberi jaminan bagi seorang anak didik.
c. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat adalah komunitas yang terbesar dibandingkan dengan lingkungan yang kita sebutkan sebelumnya. Karena itu pengaruh yang ditimbulkannya dalam merubah watak dan karakter anak jauh lebih besar. Masyarakat yang mayoritas anggotanya hidup dalam kemaksiatan akan sangat mempengaruhi perubahan watak anak kearah yang negatif. Dalam masyarakat seperti ini akan tumbuh berbagai masalah yang merusak ketenangan, kedamaian, dan ketentraman. Anak yang telah di didik secara baik oleh orang tuanya untuk selalu taat dan patuh pada perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya, dapat saja tercemari oleh limbah kemaksiatan yang merajalela disekitarnya. Oleh karena itu untuk dapat mempertahankan kwalitas yang telah terdidik secara baik dalam institusi keluarga dan sekolah, maka kita perlu bersama-sama menciptakan lingkungan masyarakat yang baik, yang kondusif bagi anak. Masyarakat terbentuk atas dasar gabungan individu-individu yang hidup pada suatu komunitas tertentu. Karena dalam membentuk masyarakat yang harmonis setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab yang sama. Persepsi yang keliru biasanya masih mendominasi masyarakat. Mereka beranggapan bahwa yang bertanggung jawab dalam masalah ini adalah pemerintah, para da’i, pendidik atau ulama. Padahal Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
(رواه مسلم).
Artinya: “Barangsiapa di antaramu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak sanggup maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Jika setiap orang merasa tidak memiliki tanggung jawab dalam hal beramar ma’ruf nahi munkar, maka segala kemunkaran bermunculan dan merajalela di tengah masyarakat kita dan lambat atau cepat pasti akan menimpa putra dan putri kita. Padahal kedudukan kita sebagai umat yang terbaik yang dapat memberikan ketentraman bagi masyarakat kita hanya dapat tercapai jika setiap individu muslim secara konsisten menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: Artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah...” (Ali Imran: 110).

Jamaah jum’at rahimakumullah
Amar ma’ruf adalah kewajiban setiap individu masing-masing yang harus dilaksanakan. Jika tidak maka Allah Subhannahu wa Ta'ala , pasti akan menimpakan adzabnya di tengah-tengah kita dan pasti kita akan tergolong orang-orang yang rugi Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imran: 104).
Untuk itu di akhir khutbah ini marilah kita bersama-sama merasa peduli terhadap kelangsungan hidup generasi kita, semoga dengan kepedulian kita itulah Allah Subhannahu wa Ta'ala akan senantiasa menurunkan pertolonganNya kepada kita dan memenangkan Islam di atas agama-agama lainnya. Marilah kita berdo’a kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala .
رَبِّ اجْعَلْنِيْ مُقِيْمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ، رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءَ. رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ، وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ.
Khutbah kedua.
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ. أَمَّا بَعْدُ؛
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ. اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَرْخِصْ أَسْعَارَهُمْ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.